Rabu, 16 Januari 2008

3 HARI UNTUK SELAMANYA

Photobucket

Sebuah पेर्जलानन selalu mendatangkan pengalaman baru। Kadang melalui perjalanan seseorang tidak hanya akan lebih mengenal dunia, tapi juga dirinya. Inilah kiranya sebuah dunia yang coba dibangun Riri Riza melalui “3 Hari untuk Selamanya”.

Yusuf (Nicholas Saputra) dan Ambar (Adinia Wirasti) sepasang saudara sepupu harus melakukan perjalanan semobil berdua mengarungi jalan raya yang terbentang dari Jakarta, Bandung, daerah Pantura, dan berakhir di Jogjakarta, untuk menghadiri perkawinan saudara mereka, jelasnya kakak Ambar. Perjalanan mereka boleh jadi direncanakan, remaja seumur mereka memang selalu ingin mencoba hal baru.

Melalui perjalanan yang mereka arungi penonton diajak menyusuri pemandangan sepanjang perjalanan mereka yang mulus-mulus saja, tanpa hambatan. Kecuali pertengkaran kecil yang dipicu perbedaan cara menghadapi sikap Pak Haji dan Istrinya, yang mereka tumpangi rumahnya untuk menginap. Pola hubungan mereka dengan keluarga masing-masing terungkap dalam percakapan yang mengalir natural. Termasuk kegiatan keduanya melakukan hal-hal yang diluar batas jika dilihat dari adat ke-timuran kita, dan terlibat percintaan ketika sampai di tempat tujuan. Hanya saja kenapa pula Riri Riza harus menampilkan adegan Yusuf kencing di pinggir jalan sampai tiga kali, sementara Ambar tidak sama sekali?

Kekuatan utama film ini kiranya memang kemampuannya dalam memunculkan kesan natural sepanjang perjalanan, di samping detilitas yang menawan. Kesan natural tidak hanya tampak pada akting para pemainnya dalam membawakan karakter masing-masing, tapi juga warna dan sudut pengambilan gambar. Tokoh-tokoh yang ditemui sepanjang perjalanan: Ada pak haji dan istrinya, ada sinden rombongan pengamen tarling yang sensual dan memicu gejolak birahi pada diri Yusuf. Semua ditampilkan tidak secara stereotip, melainkan khas. Lihat misalnya gerobak sapi yang menarik timbunan bambu, warung-warung sepanjang pantura, pertengkaran sepasang suami istri.

Kekuatan inilah kiranya yang menebus cerita yang datar dan tak memberikan kejutan, kering dari sisi dramatikal. Hanya perjalanan ya, hanya perjalanan yang mengungkap Yusuf dan Ambar yang ternyata juga tidak ada yang unik, yakni seorang remaja yang secara tidak sengaja menjadi tampak liberal. Percakapan dan sikap-sikap mereka menunjukkan hal ini, bahkan Ambar bersikap sinis terhadap lembaga pernikahan. Penonton boleh menebak penyebabnya, gara-gara keluarga yang tidak terlalu harmonis, atau makin terbukanya pergaulan...

Tidak ada komentar: