Rabu, 16 Januari 2008

THE JAK

Photobucket

Di tengah pembangunan kota Jakarta yang terus melesat ada banyak warganya yang tergilas dan tidak ikut menikmati Jakarta sebagai kota miliknya yang bisa dibanggakan. Situasi penuh keputus asaan ini sangat potensial menjadi letupan sosial yang mampu membuat chaos. Tetapi untunglah, di tengah situasi keputusa-asaan itu ada suatu wadah yang mampu menjadi bentuk ungkapan eksistensi diri yang sangat bernilai. Dialah Jak Mania, himpunan supporter kesebelasan Persija. Maka massa dari latar belakang berbagai-bagai etnis dan budaya dari penjuru Nusantara, yang tumpah di Jakarta, berkumpul bersatu padu dalam satu bahasa: Sepak Bola. Inilah yang coba dipaparkan dalam dokumenter bertajuk "The Jak" karya Andibachtiar Yusuf dan Amnir Pohan.

Film dokumenter berdurasi 75 menit ini pada akhirnya tidak hanya memotret sebuah gejala fanatisme belaka, lebih jauh dari itu, merupakan gambaran drama pengkhianatan kota Jakarta terhadap warganya. Tepatnya kebijakan arah pembangunan yang tidak berpihak kepada masyarakat kecil yang terus menerus terpinggirkan. Rakyat kecil yang tidak pernah diperhitungkan dalam rancang bangun ibukota.

Dokumenter ini cukup rapi memaparkan bagaimana seseorang menjadi begitu fanatik terhadap kesebelasan. Pemaparan secara lugas diungkapkan oleh sejumlah narasumber. Mulai dari pedagang sayur di pasar, seorang partisan sebuah partai politik, sampai koordinator supporter Jak Mania. Andibachtiar Yusuf secara cerdas memilih salah satu narasumbernya dari seorang partisan sebuah partai Islam yang dikenal radikal. Melalui narasumber satu ini kita bisa melihat bagaimana fanatisme terhadap partai dan agama terjadi secara beriringan dan harmonis dengan fanatisme terhadap Persija. Sayangnya pertanyaan yang diajukan terhadap narasumber kurang menukik lebih dalam. Beberapa pertanyaan kadang berputar dan berulang-ulang, tidak lancar, dan terkesan mendadak dan sekenanya. Film ini kiranya akan makin menjelaskan gejala fanatisme terhadap suatu kesebelasan jika saja dihadirkan lebih banyak narasumber.

Selain membangkitkan semacam semangat patriotisme, keharuan, film ini juga ternyata mampu membetot kengerian. Bagaimana sebuah kerumunan massa sangat mudah dipancing menjadi kerusuhan besar yang mengerikan. Labilitas psikologi dalam kerumunan masa sangat rentan. Laksana jerami kering yang mudah terbakar. Mata kamera memaparkan gejala tersebut secara cukup tajam. Dari sisi pengambilan gambar "The Jak" saya kira cukup baik. Kehadiran kamera tidak disadari objek yang disorot. Hanya saja lima kota yang menjadi lokasi pengambilan gambar film ini tidak nampak dengan jelas. Identifikasi lokasi saya kira penting untuk melihat perubahan semangat dan perkembangan psikologis para Jak Mania.

Film yang merupakan trilogy dari "Hardline" dan "Jakarta is Mine" ini kini bisa dibeli dibeli di toko-toko. Adalah Cinekom yang memproduksi film dokumenter ini dalam format VCD. Pembuatan "The Jak" meliputi rentang waktu yang lumayan panjang, yakni antara 2003-2006.

Tidak ada komentar: